Ecadin

Sustainable Biodiesel Development

Indonesia mengalami Defisit Transaksi Berjalan (CAD) sejak 2018 dengan Sektor Migas memberikan kontribusi signifikan dengan total defisit sebesar 12,7 Miliar USD pada tahun 2018 dan 9,3 Miliar USD pada tahun 2019 [1].

Sumber: https://sawitplus.co/news/detail/5931/bulan-september-ini-harga-biodiesel-rp-306-per-liter

Di sisi lain, Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan ramah lingkungan yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai substitusi komoditas bahan bakar fosil impor. Untuk itu, pengembangan teknologi bahan bakar alternatif, khususnya biofuel, merupakan salah satu solusi nyata untuk mengurangi Defisit Transaksi Berjalan.

Untuk bahan bakar diesel, program pemanfaatan biofuel dimulai dengan pencampuran biodiesel produk transesterifikasi minyak kelapa sawit (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) ke dalam bahan bakar solar konvensional.

Dengan ketersediaan minyak kelapa sawit dalam negeri yang melimpah, penerapan program Biodiesel telah berhasil mengurangi impor produk diesel secara signifikan. Penerapan Program Mandatori pencampuran 20% FAME Biodiesel (B20) untuk sektor PSO dan non-PSO berhasil menurunkan impor produk solar dari 15.2 juta barel pada tahun 2018 menjadi 6.3 juta barel di tahun 2019 [2]. 

Saat ini mandat pencampuran Biodiesel telah mencapai 30% (B30) dan hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling maju di dunia dalam hal implementasi pencampuran biodiesel. Dalam usaha memaksimalkan benefit penggunaan biodiesel, Pertamina saat ini mengusahakan peningkatan kadar campuran ke angka 50% hingga 100%. Hal tersebut dilakukan melalui pengembangan proses produksi yang lebih mutakhir sehingga dapat menghasilkan biodiesel yang berkualitas tinggi dan 100% kompatibel dengan bahan bakar diesel konvensional.

Proses tersebut adalah proses penambahan hydrogen pada temperature dan tekanan tinggi (hydrogenation; 330 ˚C – 50 bar) dengan tujuan mengurangi kadar oksigen, ikatan rangkap, dan pengotor dalam senyawa minyak kelapa sawit. Hasilnya adalah produk Hyrotreated Biodiesel (HBD) atau green diesel, yang memiliki sifat–sifat yang unggul dibandingkan dengan FAME, dan bahkan bahan bakar diesel konvensional;

dari ukuran angka setana, nilai kalori, dan kestabilan yang tinggi serta kadar oksigen, titik tuang, dan kandungan sulfur yang rendah [3]. Keunggulan tersebut membuat HBD dapat digunakan sebagai substitusi bahan bakar diesel konvensional baik secara parsial maupun secara total (D-100) tanpa membutuhan perubahan besar pada mesin diesel konvensional yang saat ini beredar di pasaran.

Pengembangan teknologi produksi HBD telah dilakukan di Pertamina sejak tahun 2010, di mana saat itu tim dari Innovation and New Ventures (INV – sebelumnya bernama Research and Technology Center) Pertamina bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) melakukan pengembangan katalis generasi pertama.

Uji coba skala besar kemudian dilakukan di Kilang Dumai pada tahun 2014 dengan melakukan pencampuran 7.5 % minyak kelapa sawit ke fraksi umpan yang berasal dari minyak mentah konvensional. Hasilnya cukup menjanjikan di mana produk HBD yang dihasilkan memiliki angka setana di atas dan sulfur di bawah 500 ppm.

Pengembangan katalis lebih lanjut terus dilakukan oleh tim INV Pertamina hingga pada tahun 2015 dan 2019 para peneliti INV berhasil mengembangkan katalis generasi kedua dan ketiga. Untuk katalis generasi kedua, uji coba produksi dilakukan di Kilang Dumai pada bulan Maret 2019 lalu di mana kadar pencampuran minyak sawit dalam fraksi umpan dapat ditingkatkan hingga mencapai 12.5 %.

Selanjutnya, pada bulan Juli 2020 Pertamina dan ITB berhasil melakukan lompatan besar dengan keberhasilan uji coba penggantian bahan baku proses dengan 100% minyak kelapa sawit untuk menghasilkan produk D-100 pada kapasitas 1000 barel per hari.

Sebagai langkah komersialisasi HBD, Pertamina merencanakan pembangunan dua standalone biorefinery selain Kilang Dumai, yaitu di Cilacap Jawa Tengah dengan kapasitas 6.000 barel per hari, dan di Plaju Sumatera Selatan dengan kapasitas 20.000 barel per hari. Kedua kilang biorefinery tersebut diharapkan dapat beroperasi setidaknya pada tahun 2023.

Untuk suplai katalis, Pertamina bersama ITB dan PT Pupuk Kujang telah memulai kerjasama untuk membangun pabrik katalis nasional pertama di Indonesia. Perjanjian kerjasama joint venture telah ditandatangani pada bulan Juli 2020 dan pembangunan pabrik tersebut direncanakan selesai pada tahun 2021 [4].

Di samping pengembangan biodiesel, Pertamina juga telah melakukan pengembangan bahan bakar alternatif pengganti bensin.
Yang pertama adalah pengembangan green gasoline berbasis minyak kelapa sawit. Seperti halnya pada pengembangan HBD, Pertamina telah mengembangkan katalis green gasoline dan telah melakukan uji coba produksi skala besar di Kilang Plaju pada akhir 2018 lalu.

Fraksi minyak sawit sebesar 7.5% berhasil dicampurkan dengan bahan baku yang berasal dari minyak mentah untuk menghasilkan green gasoline yang memiliki nilai oktan yang tinggi. Dengan keberhasilan tersebut, Pertamina menjadi pioneer dalam pengembangan teknologi green diesel karena uji coba produksi skala besar green diesel dari minyak kelapa sawit merupakan yang pertama di dunia.

Sumber: https://www.biznews.id/berita/detail/kementerian-esdm-dorong-pengembangan-green-fuel

Di samping green gasoline, Pertamina saat ini juga sedang mengembangkan bahan bakar A20. A20, yang merupakan kepanjangan dari Alkohol 20%, adalah campuran antara bensin konvensional, methanol, dan etanol dengan komposisi masing – masing 80%, 15%, dan 5%.

Pencampuran methanol dan etanol ke dalam senyawa bensin didasari beberapa alasan. Pertama, ethanol dan methanol adalah bahan bakar yang berkualitas tinggi dengan nilai oktan dan kecepatan pembakaran yang lebih baik dari bensin konvensional Dengan sifat-sifat tersebut, pencampuran methanol dan etanol akan membuat bensin terbakar dengan lebih sempurna dan dapat dipakai pada mesin yang memiliki rasio kompresi yang tinggi.

Selain itu, metanol dan etanol dapat dihasilkan dari bahan baku alternatif yang sumbernya banyak terdapat di Indonesia. Dalam pengembangan proses teknologi dan bisnis yang dilakukan Pertamina, metanol diharapkan dapat diproduksi dari batu bara, sedangkan etanol dapat diproduksi dari biomassa limbah industri pertanian dan perkebunan.

Bahan bakar A20 dapat menjadi solusi efektif untuk mendapatkan bahan bakar dengan kualitas lebih tinggi dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia di Indonesia.

Referensi:
[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200115143600-4-130197/pak-jokowi-defisit-migas-ri-di-2019-turun-27-loh
[2] https://industri.kontan.co.id/news/pertamina-proyeksikan-hemat-rp-634-triliun-bila-program-b30-diterapkan-tahun-ini
[3] https://www.honeywell-uop.cn/wp-content/uploads/2011/01/UOP-Hydrorefining-Green-Diesel-Tech-Paper.pdf
[4] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200730112905-4-176466/pertamina-itb-pupuk-kujang-bangun-pabrik-katalis-nasional

Share this article

Related Articles